Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Gambar Produk 1
Jasa Desain Kaos, Desain Batik , LOGO dan desain grafis lainya
Email : mastertracer69@gmail.com

Penyebab Lemah Iman dan Ciri-Ciri Tanda Iman Melemah

penyebab-lemah-iman-dan-ciri-ciri-tanda-iman-melemah
Penyebab Lemah Iman dan Ciri-Ciri Tanda Iman Melemah - Iman itu terkadang naik dan turun, ketika iman kita sedang naik maka rasa dekat dengan Allah pun semakin terasa, dan ibadah akan lebih nikmat. Beda rasanya jika iman kita sedang turun, rasa malas itu senantiasa menggelayuti setiap ativitas ibadah kita.  Iman bagian terpenting bagi seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang didunia dan akherat. Bahkan kebaikan dunia dan akherat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akherat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan iman seseorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam surga dan selamat dari neraka.

Imam Sufyan As-Tsauri berkata:

الإيمانُ يَزيدُ ويَنقُصُ

Iman bertambah dan berkurang

Selain itu, Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Iman menurut mereka (para ulama) bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.” Dengan demikian, kadar Iman selalu berbanding lurus dengan kadar amal shaleh. Kondisi turunnya iman sering dikenal dengan futur keadaan lemah setelah kuat, atau malas setelah rajin. Futur biasanya berkaitan dengan menurunnya kuantitas amal shaleh seorang hamba. Ketika iman turun, maka biasanya produktivitas amal shaleh juga akan menurun

Ada beberapa penyebab yang akan membuat iman kita melemah, diantaranya yaitu.

1- Panjang Angan-angan

Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak Adam akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal: ambisi dan angan-angannya.” (HR. Baihaqi).

Setiap Muslim harus memahami makna dan implementasi dari perintah untuk ridha dengan apa yang Allah berikan di dalam kehidupan dunia ini agar selamat dan bahagia dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Artinya, “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr [15] ayat 3).

عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ : خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا وَخَطَّ خَطًّا فِي الْوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الْوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الْوَسَطِ وَقَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ أَوْ قَدْ أَحَاطَ بِهِ وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ وَهَذِهِ الْخُطَطُ الصِّغَارُ الْأَعْرَاضُ فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا (رواه البخاري)

Dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membuat gambar persegi empat, lalu menggambar garis panjang di tengah persegi empat tadi dan keluar melewati batas persegi itu. Kemudian beliau juga membuat garis-garis kecil di dalam persegi tadi, di sampingnya (persegi yang digambar Nabi). Dan beliau bersabda, “Ini adalah manusia, dan (persegi empat) ini adalah ajal yang mengelilinginya, dan garis (panjang) yang keluar ini, adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah penghalang-penghalangnya. Jika tidak (terjebak) dengan (garis) yang ini, maka kena (garis) yang ini. Jika tidak kena (garis) yang itu, maka kena (garis) yang setelahnya. Jika tidak mengenai semua (penghalang) tadi, maka dia pasti tertimpa ketuarentaan.” (HR. Bukhari).

Angan-angan manusia itu ada dua macam. Pertama, angan-angan yang bisa tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis-garis yang berada di luar lingkaran yang sekaligus sebagai pembatas. Kedua, angan-angan yang tidak mungkin tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis yang berada di luar lingkaran (kotak).

Dari keterangan di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa manusia itu hidup didalam keterbatasan. Semua indera dan fungsi tubuhnya yang diberikan oleh Allah serba terbatas kemampuannya.

Namun, cita-cita dan angan-angan manusia itu jauh lebih panjang dari pada ajalnya. Sesuatu yang diangan-angankan itu biasanya tidak akan jauh dari yang namanya harta dan umur panjang. Sudah menjadi fitrahnya bahwa masing-masing manusia memiliki keinginan dan harapan yang selalu didamba-dambakan.

Dengan memiliki harta yang cukup, maka ia akan memikirkan untuk mempergunakannya, walaupun fisik dan mentalnya sudah lemah atau berkurang.

Hadits riwayat Ibnu Majah menyebutkan,

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَيَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’adz Ad Dlarir, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah, dari Qatadah, dari Anas, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Anak Adam akan menua, namun ia masih tetap berjiwa muda dalam dua hal, yaitu rakus terhadap harta kekayaan dan umur yang panjang.”

Walaupun keinginan dan cita-cita seseorang itu telah tercapai, tapi tabiat manusia tidak akan merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Maka ia akan mencari dan mencari lagi harapan yang lain.

Pada umumnya, cita-cita dan kegemarannya terhadap harta dan umur panjang ini sampai melampaui batas hingga menjadi lupa dengan adanya kematian yang pasti tapi tidak bisa diduga kapan datangnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan manusia di dalam firman-Nya,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Artinya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai (kamu) masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur [102] ayat 1-2).

Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan,

و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَاللَّهُ يَتُوبُ عَلَى مَنْ تَابَ

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Andai kata anak Adam itu memiliki emas satu lembah, niscaya ingin memiliki satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi mulut (hawa nafsu)-nya melainkan tanah (maut). Dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat kepada-Nya.”

Oleh karenanya, betapa pun tingginya angan-angan manusia terhadap harta dan kesenangan dunia, namun jangan sekali-kali melupakan satu hal yang pasti, yakni mati.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran [3] ayat 185).

Hendaklah bagi seorang Muslim, jangan melampaui batas dalam hal cita-cita dan angan-angannya. Namun bukan berarti mereka tidak boleh memiliki cita-cita lalu menjadi orang kaya.

Memangkas Angan-Angan, Manfaatkan Harta

Panjangnya angan-angan atau hayalan telah disebutkan sebagai hal yang tidak baik. Untuk tidak terlarut menghabiskan waktu untuk angan-angan yang melampaui batas, seorang Muslim hendaklah terus beraktivitas secara positif. Hendaklah mengerjakan pekerjaan yang bisa dikerjakan sekarang juga tanpa menunda-nunda waktu.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

Artinya, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah [98] ayat 7).

Waktu adalah pedang, maka barang siapa tidak bisa menggunakan waktu dengan baik ia akan dilibas masa depannya.

Untuk itu setiap kita selesai melakukan suatu urusan atau pekerjaan, segeralah menuju ke urusan dan pekerjaan berikutnya. Jangan membuang-buang waktu untuk urusan yang tidak bermanfaat, terutama bagi kemaslahatan umat atau kerabat (relasi atau stakeholder lainnya).

Bersungguh-sungguhlah, maka kita akan bisa mendapatkan atau mewujudkan sesuatu yang diharapkan dan dicita-citakan secara wajar.

Sementara itu, agar tidak menjadi buruk lantaran berharta, maka cara tepatnya adalah seorang Muslim harus bisa mengendalikan hartanya kepada hal yang baik, menjadikan harta yang kita miliki dan yang kita kejar sebagai sarana untuk beribadah dan bertakwa kepada Allha Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan sampai kekayaan membuat kita lupa beribadah kepada Allah yang telah berfirman,

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ

Artinya, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail [92] ayat 17-18).


2. Tidak Mencintai Majelis Ilmu

Orang yang diperbudak oleh angan-angan dan ambisi biasanya tidak tertarik dengan ilmu, sehingga sulit baginya berdzikir dalam makna yang sesungguhnya. Akibatnya hidup kian tidak tenang dan hati semakin kering kerontang dari siraman iman yang sangat dibutuhkan.

Rasulullah bersabda, “Jika kalian melewati taman surga maka singgahlah dengan hati senang.”
Para sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab, ” halaqoh-halaqoh dzikir” (atau halaqoh ilmu).” (HR. Tirmidzi).

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir [35]: 28).

3 Pergaulan Yang Salah

Rasulullah menegaskan bahwa iman seseorang juga dipengaruhi oleh dengan siapa ia bergaul. “Seseorang dapat dinilai dari agama kawan setianya, maka hendaklah di antara kalian melihat seseorang dari siapa mereka bergaul.” (HR. Al-Hakim).

Sejauh seseorang mengerti kebaikan, namun enggan atau mungkin menunda-nunda untuk meninggalkan pergaulan yang ia tahu sebenarnya mesti segera ditinggalkan, tetapi malah tidak memupuk tekad yang sungguh-sungguh, maka pasti akan semakin sulit baginya untuk mengembalikan kebeningan hatinya.

Rasulullah memberikan rambu yang jelas dan tegas. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk (di suatu majelis) yang dihidangkan padanya minuman keras.” (HR. Abdu Dawud dan Ibn Majah).

Maka carilah teman, bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang sholeh. Hal ini akan sangat membantu akal sehat segera pulih dan hati secara perlahan-lahan akan kembali bisa menangkap cahaya Ilahi (hidayah), sehingga semakin kuat keimanan di dalam dada.

Ciri-Ciri Tanda Iman Melemah

Ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan iman sedang lemah. 

1 Banyak melakukan kedurhakaan atau dosa. Sebab, perbuatan dosa jika dilakukan berkali-kali akan menjadi kebiasaan. Jika sudah menjadi kebiasaan, maka segala keburukan dosa akan hilang dari penglihatan Anda. Akibatnya, Anda akan berani melakukan perbuatan durhaka dan dosa secara terang-terangan.

Ketahuilah, Rasululllah saw. pernah berkata, “Setiap umatku mendapatkan perindungan afiat kecuali orang-orang yang terang-terangan. Dan, sesungguhnya termasuk perbuatan terang-terangan jika seseorang melakukan suatu perbuatan pada malam hari, kemudian dia berada pada pagi hari padahal Allah telah menutupinya, namun dia berkata, ‘Hai fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begini,’ padahal sebelum itu Rabb-nya telah menutupi, namun kemudian dia menyibak sendiri apa yang telah ditutupi Allah dari dirinya.” (Bukhari,)

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak ada pencuri yang si saat mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan beriman.” (Bukhari, hadits nomor 2295 dan Muslim, hadits nomor 86)

2. Hati terasa begitu keras dan kaku. Sampai-sampai menyaksikan orang mati terkujur kaku pun tidak bisa menasihati dan memperlunak hati Anda. Bahkan, ketika ikut mengangkat si mayit dan menguruknya dengan tanah. Hati-hatilah! Jangan sampai Anda masuk ke dalam ayat ini, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Al-Baqarah:74)

3. Tidak tekun dalam beribadah. Tidak khusyuk dalam shalat. Tidak menyimak dalam membaca Al-Qur’an. Melamun dalam doa. Semua dilakukan sebagai rutinitas dan refleksi hafal karena kebiasaan saja. Tidak berkonsentrasi sama sekali. Beribadah tanpa ruh. Ketahuilah! Rasulullah saw. berkata, “Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main.” (Tirmidzi, hadits nomor 3479)

4. Malas untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Bahkan, meremehkannya. Tidak memperhatikan shalat di awal waktu. Mengerjakan shalat ketika injury time, waktu shalat sudah mau habis. Menunda-nunda pergi haji padahal kesehatan, waktu, dan biaya ada. Menunda-nunda pergi shalat Jum’at dan lebih suka barisan shalat yang paling belakang. Waspadalah jika Anda berprinsip, datang paling belakangan, pulang paling duluan. Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Masih ada saja segolongan orang yang menunda-nunda mengikuti shaff pertama, sehingga Allah pun menunda keberadaan mereka di dalam neraka.” (Abu Daud, hadits nomor 679)

Allah swt. menyebut sifat malas seperti itu sebagai sifat orang-orang munafik. “Dan, apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.”

Jadi, hati-hatilah jika Anda merasa malas melakukan ibadah-ibadah rawatib, tidak antusias melakukan shalat malam, tidak bersegera ke masjid ketika mendengar panggilan azan, enggan mengerjakan shalat dhuha dan shalat nafilah lainnya, atau mengentar-entarkan utang puasa Ramadhan.

5. Tidak merasa lapang. Dada terasa sesak, perangai berubah, merasa sumpek dengan tingkah laku orang di sekitar Anda. Suka memperkarakan hal-hal kecil lagi remeh-temeh. Ketahuilah, Rasulullah saw. berkata, “Iman itu adalah kesabaran dan kelapangan hati.” (As-Silsilah Ash-Shahihah, nomor 554)

6. Tidak tersentuh oleh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak bergembira ayat-ayat yang berisi janji-janji Allah. Tidak takut dengan ayat-ayat ancaman. Tidak sigap kala mendengar ayat-ayat perintah. Biasa saja saat membaca ayat-ayat pensifatan kiamat dan neraka. Hati-hatilah, jika Anda merasa bosan dan malas untuk mendengarkan atau membaca Al-Qur’an. Jangan sampai Anda membuka mushhaf, tapi di saat yang sama melalaikan isinya.

Ketahuilah, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal:2)

7. Ketika Anda melalaikan Allah dalam hal berdzikir dan berdoa kepada-Nya. Sehingga Anda merasa berdzikir adalah pekerjaan yang paling berat. Jika mengangkat tangan untuk berdoa, secepat itu pula Anda menangkupkan tangan dan menyudahinya. Hati-hatilah! Jika hal ini telah menjadi karakter Anda. Sebab, Allah telah mensifati orang-orang munafik dengan firman-Nya, “Dan, mereka tidak menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali.” (An-Nisa:142)

8. Tidak merasa marah ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Ghirah Anda padam. Anggota tubuh Anda tidak tergerak untuk melakukan nahyi munkar. Bahkan, raut muka Anda pun tidak berubah sama sekali.

Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dosa dikerjakan di bumi, maka orang yang menyaksikannya dan dia membencinya –dan kadang beliau mengucapkan: mengingkarinya–, maka dia seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan, siapa yang tidak menyaksikannya dan dia ridha terhadap dosa itu dan dia pun ridha kepadanya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” (Abu Daud, hadits nomor 4345).

Ingatlah, pesan Rasulullah saw. ini, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (Bukhari, hadits nomor 903 dan Muslim, hadits nomor 70)

9. Gila hormat dan suka publikasi. Gila kedudukan, dan tampil sebagai pemimpin tanpa dibarengi kemampuan dan tanggung jawab. Suka menyuruh orang lain berdiri ketika dia datang, hanya untuk mengenyangkan jiwa yang sakit karena begitu gandrung diagung-agungkan orang. 

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman:18)

Nabi saw. pernah mendengar ada seseorang yang berlebihan dalam memuji orang lain. Beliau pun lalu bersabda kepada si pemuji, “Sungguh engkau telah membinasakan dia atau memenggal punggungnya.” (Bukhari, hadits nomor 2469, dan Muslim hadits nomor 5321)

Rasulullah bersabda , “Sesungguhnya kamu sekalian akan berhasrat mendapatkan kepemimpinan, dan hal itu akan menjadikan penyesalan pada hari kiamat. Maka alangkah baiknya yang pertama dan alangkah buruknya yang terakhir.” (Bukhari, nomor 6729)

“Jika kamu sekalian menghendaki, akan kukabarkan kepadamu tentang kepemimpinan dan apa kepemimpinan itu. Pada awalnya ia adalah cela, keduanya ia adalah penyesalan, dan ketiganya ia adalah azab hati kiamat, kecuali orang yang adil.” (Shahihul Jami, 1420).

Untuk orang yang tidak tahu malu seperti ini, perlu diingatkan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Iman mempunyai tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (Bukhari, hadits nomor 8, dan Muslim, hadits nomor 50)

“Maukah kalian kuberitahu siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah saw. Para sahabat menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan sombong.” (Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor 5092)

10. Bakhil dan kikir. Ingatlah perkataan Rasulullah saw. ini, “Sifat kikir dan iman tidak akan bersatu dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” (Shahihul Jami’, 2678)