Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Gambar Produk 1
Jasa Desain Kaos, Desain Batik , LOGO dan desain grafis lainya
Email : mastertracer69@gmail.com

Biografi Nama-nama Tokoh Ulama Sufi Tasawuf dan kitab ajaran Ilmu Tasawuf

Biografi-Nama-nama-Tokoh-Ulama-Sufi-Tasawuf-dan-kitab-ajaran-ilmu-tasawuf
Biografi Nama-nama Tokoh Ulama Sufi Tasawuf dan kitab ajaran Ilmu Tasawuf - Tasawuf merupakan salah satu aspek asoterik Islam, sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung antara seorang hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.

Tasawuf merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri secara benar kepada Allah. Pemahaman kaum muslimin tentang sufi saat itu tidak lagi bertujuan meninggalkan kehidupan dunia, tetapi lebih mengacu pada usaha menghindarkan diri dari keterikatan yang berlebihan pada dunia

Ilmu Tasawuf adalah ilmu tentang menyucikan hati dengan cahaya Ma’rifat dan Kalimah Tauhid laa ilaha illallah dzikir kepada Allah Swt yang mana dengannya akan menghasilkan akhlakul karimah yang sempurna menuruti Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Sementara itu, intisari Ilmu Tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dan Tuhan melalui kontemplasi. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya Ilahi.di dalam ajaran Tasawuf pun terdapat beberapa tokoh yang terkemuka. Dimana tokoh-tokoh tersebut juga memiliki ajaran Tasawuf nya masing-masing. Di dalam kebanyakan kitab-kitab ilmu Tasawuf yang menjelaskan bahwa perkataan Tasawuf itu berasal dari perkataan Saf yang berarti suci dan tulus seperti mana Hadhrat Bisyr Ibni Al-Harits Rahmatullah ‘alaih ada mengatakan bahwa, “Sufi adalah orang yang hatinya tulus.

Sejarah mencatat ada Nama-nama tokoh riwayat sejarah para ulama sufi dalam tasawuf dan kitab ilmu tasawuf yang diketahui sebagai berikut

1.Ibn Athaillah as Sakandary

Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah – Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.

2. Al Muhasibi

Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama “Al Muhasibi” mengandung pengertian “Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya”. Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya “Ri’ayah Li Huquq Allah”, sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.

3.Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)

Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.

4. Al-Hasan al-Bashri (21 – 110 H / 642 – 728 M)

Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, al-Bashri, nama julukannya Abu Said. Lahir pada tahun 21 H / 642 M, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Ra. Ayahnya seorang keturunan Persia bernama Yasar. Ia lahir dan dibesarkan dalam naungan kasih sayang Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah Saw. Ia mulai berinteraksi dengan para sahabat di masa pemerintahan Utsman bin Affan Ra. Dan ketika Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman Ra sebagai khalifah, al-Hasan telah berumur 14 (empat belas) tahun, dan mulai belajar keilmuan Islam secara serius kepada lebih dari 300 (tiga ratus) orang sahabat. Al-Hasan dikenal piawai dalam ilmu aqidah, mahir dalam retorika, serta masyhur dengan kezuhudan dan kehalusan budinya. Sekalipun pada masanya istilah sufi maupun tasawuf belum dikenal, akan tetapi ia dianggap oleh kalangan ulama tasawuf sebagai tokoh yang konsisten dalam kezuhudan, kekhusyukan dan ketawadhu’annya. Ia meninggalkan beberapa surat (rasa’il) yang sangat berharga, dengan menggunakan uslub yang mudah dicerna dan dipahami, menggunakan pendekatan hati dan rasa untuk menggugah dan membangkitkan gairah keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.(11) (Mausu’ah a’lam al-fikr al-Islami, Majlis al-a’la li as-syu’un al-Islamiyah, hal. 259-262)

5. Rabi’ah al-‘Adawiyah (95 – 135 H).

Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-‘Adawiyah, julukannya Ummu al-Khair, al-Bashriyah. Seorang muslimah kelahiran Bashrah Irak, yang dikenal shalihah, zahidah, dan sangat tekun dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Swt. Ia masyhur karena filosofi “mahabbah” atau “cinta”nya dalam beribadah. Salah satu do’a munajat “cinta”nya yang terkenal adalah sebagai berikut:

Artinya: “Wahai Tuhanku, jikalau aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka jerumuskanlah aku ke dalamnya, dan jikalau aku beribadah kepada-Mu karena mengharap syurga-Mu, maka halangilah aku darinya, akan tetapi jikalau aku beribadah kepada-Mu karena cinta dan mengharap ridha-Mu, maka jangan Kau halangi aku untuk melihat Wajah-Mu).(12) (al-Wafi bi al-wafiyat, Shalahuddin Khalil bin Abik as-Shafadi, juz 4, hal. 435, lihat pula al-A’lam, Khairuddin az-Zarkali, juz 3, hal. 10, serta Qadhiyyah at-tasawwuf, hal. 42)

6. Ibrahim bin Adham (w. 161 H / 778 M)

Nama lengkapnya Abu Ishak Ibrahim bin Adham bin Manshur. Lahir di Mekah, dan setelah ia lahir ibunya berkeliling meminta do’a kepada masyarakat agar anaknya dijadikan anak shalih. Keluarganya berasal dari ” Balkh “, sebuah kota yang terkenal di Khurasan.

Ayahnya seorang pejabat tinggi di Khurasan, dan karenanya ia hidup di lingkungan yang serba berkelebihan dalam hal harta dan kesenangan dunia. Suatu hari ketika ia sedang berburu binatang di hutan, ia menjumpai kelinci atau serigala, dan ketika ia mengarahkan panahnya kepada binatang itu, ia mendengar suara tanpa ujud: “Bukan untuk ini engkau diciptakan, dan bukan untuk ini pula engkau diperintahkan! “. Ia tengok kanan-kiri, akan tetapi tidak ia jumpai sumber suara tersebut. Kemudian ia lanjutkan perburuannya, akan tetapi ia mendengar kembali suara tersebut terulang sampai tiga kali.

Kemudian ia segera pulang dan berpamitan kepada orang tuanya sambil mengenakan baju penggembala yang terbuat dari bulu domba kasar menuju kampung kecil, kemudian ke Mekah. Selanjutnya ia hidup dengan usaha dan kerja hasil keringat sendiri, dan menjadi tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan dan kesahajaannya. Di antara do’anya yang terkenal (Ya Allah, alihkan aku dari kehinaan maksiat kepada-Mu menuju kemuliaan taat kepada-Mu!). (13) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, Abul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, hal. 63-64).

7. Abu al-Faidh Dzunnun al-Mishri (w. 245 H).

Nama lengkapnya Tsauban bin Ibrahim, pendapat lain al-Faidh Ibrahim, ayahnya berasal dari “Naubi”, sebuah desa di Mesir. Ia dikenal sebagai seorang yang alim dan wara’. Suatu hari ia diundang oleh al-Mutawakkil untuk dimintai nasihatnya. Maka Dzunnun memberinya nasehat sehingga membuat Sultan menangis. Ungkapan tasawufnya yang terkenal: ” (seorang yang ma’rifat kepada Allah setiap hari semakin bertambah khusyu’nya, karena setiap saat ia bertambah dekat (kepada Allah Swt).(14) (Ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 65).

8. Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (215 – 297 H / 830 – 910 M).

Nama lengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak. Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab “Abi Tsaur”, salah seorang murid Imam Syafi’i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur. Ia dikenal di kalangan para sufi sunni sebagai “sayyid at-tha’ifah” (pemimpin golongan) dan “thawus al-ulama” atau “burung meraknya para ulama”. Al-Junaid dikenal sebagai sufi sunni yang menentang keras pendapat bahwa tasawuf bebas syari’ah. Menurutnya seorang sufi justru adalah orang yang senantiasa konsisten kepada aqidah dan syari’ah. Al-Junaid adalah penulis kitab kalam dan tasawuf yang cukup produktif, meninggal di Baghdad tahun 297 M / 910 M).(15) (Ar-Risalah, hal. 86, lihat juga Mausu’ah A’lam, hal 230-231).

9. Abu as-Siraj at-Thusi (w. 387 H / 988 M).

Nama lengkapnya Abu Nashr Abdullah bin Ali bin Muhammad as-Siraj, berasal dari “Thus” Khurasan. Ia lahir di Thus dan dibesarkan di daerah tersebut, dan merupakan guru besar dalam bidang tasawuf serta ilmunya. Ia adalah pengarang kitab tasawuf yang sangat monumental “al-luma'”, yang menurut para ulama merupakan kitab pertama ilmu tasawuf yang paling representatif dan dijadikan rujukan utama generasi berikutnya dalam mengkaji tasawuf dan ilmunya.(16) (Mausu’ah A’lam, hal. 569-570).

10.Ma’ruf al-Karkhi

Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200H/815M.

Ma’ruf dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehinnga ia digolongkan kedalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari paham cinta yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah.

Diantara ajaran tasawufnya, al-Karkhi pernah berkata :”Seseorang sufi adalah tamu Tuhan di dunia ini, dan oleh karena itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, ia berhak dilayani sebagai tamu, tetapi tidak sekali-kali berhak mengemukakan kehendak keinginannya.

11. Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H / 1058 – 1111 M).




Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, julukannya adalah “hujjatul Islam” dan “zainuddin at-Thusi” atau “hiasan agama yang berasal dari Thus”, Khurasan. Nisbat “al-ghazali” kepada “ghazl as-shuf” atau pemintal kain wol atau “ghazalah”, sebuah desa di Thus Khurasan.

Ia lahir dari keluarga miskin yang shalih. Ayahnya seorang pemintal kain dari bulu domba yang tidak pernah makan kecuali hasil dari keringat sendiri. Ia rajin menghadiri majelis pengajian para fuqaha, dan apabila ia mendengar pelajaran dari mereka, ia selalu menangis dan berdo’a kepada Allah Swt agar dianugerahi seorang anak yang faqih.

Demikian pula ketika mengikuti pengajian dari ulama yang ahli memberikan nasehat, iapun menangis seraya memohon kepada Allah Swt agar dikaruniai anak yang wa’idz (pandai memberikan nasehat). Dari orang tua seperti inilah lahir al-Ghazali yang sangat masyhur dengan keulamaan dan kezuhudannya. Ia seorang faqih, mutakallim, ushuli, failasuf dan shufi. Kitab-kitabnya sampai sekarang masih menjadi rujukan idola para pencari ilmu dan ulama di seantero jagat ini. Di antara kitabnya yang termashur adalah “ihya ulum ad-din”, “al-adab fi ad-din’, al-arba’in fi ushul ad-din’, “asrar al-hajj”, “al-iqtishad fi al-I’tiqad”, “tahafut al-falasifah” dan “al-mustashfa” .(17) (Mausu’ah A’lam, hal. 786-788)

Kitab-kitab Imam Ghazali
Sayyidina Syaikh al Quthb al Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus RA mengatakan:

“Siapa yang menghendaki jalan menuju Allah dan rasul-Nya serta keridhoan Keduanya hendaknya ia mempelajari kitab-kitab Imam Ghazali. Terlebih kitab beliau yang bagaikan samudra luas yaitu Ihya Ulumuddin. Ini adalah kitab yang menjadi keajaiban dunia, di dalamnya terkumpul semua rahasia. Pelajari pula kitab Bidayah al Hidayah, di dalamnya terdapat kunci ketakwaan. Dalam kitab Arbain al Ashl terdapat penjelasan mengenai jalan yang lurus. Kitab “Minhajul Abidin” mencakup jalan menuju Allah, dan kitab “Al Khulashoh” dalam fiqih di dalamnya terdapat cahaya.”

Kitab Ihya ulumiddin

Sayyidina Syaikh Quthb al Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus RA mengatakan mengenai kitab Ihya:

“Kita tidak memiliki manhaj selain Al Kitab dan Sunnah. Dan penjelasan keduanya telah disebutkan oleh seorang raja para penulis, mujtahid yang tersisa, hujjatul Islam al Ghazali dalam kitabnya yang menjadi keajaiban dunia dan sangat agung yang dinamakan “Ihya Ulumiddin”. Kitab ini adalah ungkapan dari penjelasan al Kitab dan as Sunah, At Thoriqoh dan Haqiqoh. Andai Allah menghidupkan kembali orang-orang mati pastinya mereka akan mewasiatkan kepada orang yang hidup untuk mempelajari apa yang ada dalam “Ihya”. Aku bersaksi kepada Allah baik secara rahasia atau secara terang terangan bahwa siapa yang mempelajari ihya maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan petunjuk.”

Imam Nawaawi Ra mengatakan:

كاد الاحياء أن يكون قران

Hampir saja kitab ihya menjadi Al Quran

Sayidina al Habib Abdullah al Haddad menjelaskan makna perkataan ini: “Ini tidak lain karena banyaknya kandungan al Quran di dalam kitab Ihya ketika membawakan dalil. Atau karena Ihya adalah kitab yang membuat orang tidak mampu membuat yang serupa, maka ia diserupakan dengan al Quran dari segi ini. Dan pendapat kedua ini yang lebih dekat. Maksudnya bahwa ihya ditulis berbeda dengan kitab-kitab yang terdahulu dan sulit bagi generasi setelahnya untuk membuat karya yang serupa dengan ihya.”

Kitab Al Arbain fi Ushulid Din

Imam Abdullah Al Haddad RA mengatakan mengenai karya Imam Ghazali ini:

“Kitab al Arbain al Ash di dalamnya disebutkan beberapa hal yang tidak ada dalam kitab Ihya. Ini adalah kitab yang agung yang dinamakan oleh Syaikh Abdullah al Aidrus dengan sebutan, “Jalan yang Lurus”. Di dalam kitab-kitab Imam Ghazali terdapat khasiat yaitu menarik hati untuk hadir bersama Allah dengan khusus bukan dengan sekedar ilmu.


Imam Al Haddad RA juga mengatakan:
Kitab al Arbaina al Ashl karya Imam Ghazali termasuk kitab yang bermanfaat dalam agama baik bagi para pemula ataupun yang sudah mencapai puncak.

Dan kitab

Risalah Quds fi Munashohatin Nafsi

Karya Syaikh Muhammad Ibnu Arobi demikian pula (bermanfaat bagi pemula dan yang sudah mencapai puncak). Kitab ini ditulis pengarangnya di Mekah Mukaromah, disebutkan bahwa penulisnya menthawafkan kitab ini di Kakbah tujuh kali. Di dalamnya tidak ada perkara-perkara yang musykil. Maka seyogyanya bagi penempuh jalan menuju hakikat untuk banyak mempelajari dua kitab ini (Arbain dan Risalah Quds) untuk mencari manfaat di jalan Ahlil Hak wal Ittiba.”

Bidayatul Hidayah

Habib Ali bin Muhammad al Habsyi mengatakan:

Bidayatul Hidayah adalah kitab yang agung. Mengumpulkan ilmu zahir dan batin. Ini adalah permulaan yang menyampaikan seorang kepada puncak. Kitab ini telah menyampaikan banyak orang yang mengamalkannya kepada berkumpul dengan Nabi SAW secara sadar. Para salaf kita saling berjanji untuk mengamalkan isi Bidayah. Diceritakan ada tiga orang yang tinggal di Madinah Munawaroh saling berjanji untuk mengamalkan Bidayah yaitu Habib Abdurahman bin Musthofa Alaydrus, Habib Syaikh bin Muhammad al Jufri dan Habib Abu Bakar bin Husain Bilfaqih. Mereka semua memenuhi janjinya sehingga dapat berkumpul dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga.

Sayyidina Al Quthb Abdullah bin Alwi al Haddad mengatakan:

Hendaknya engkau mempelajari kitab-kitab Imam Ghazali sesuai dengan keadaanmu. Jika engkau termasuk pemula maka bacalah Bidayah, kemudian ”Arbainal Ashl”, Kemudian “Minhajul Abidin.” Jika engkau memiliki pengetahuan dan kefahaman dalam ilmu barulah mempelajari Ihya. Jika engkau tidak dapat mengamalkan Bidayah, maka katakan pada dirimu, “Tidak ada keraguan lagi, jika aku tidak mampu mengamalkan yang sedikit maka aku tidak akan mampu mengamalkan yang banyak.”

Qutul Qulub

Imam Abdullah Al Haddad mengatakan: “Hendaknya kalian mempelajari kitab Qutul Qulub karya Syaikh Imam Abu Thalib al Makki. Karena ini adalah kitab yang menyeluruh dan bermanfaat. Syaikh Sahrowardi penulis kitab al Awarif menamakan kitab Qutul Qulub ini dengan Diwanul Islam. Inilah kitab yang mengumpulkan kitab-kitab dan paling bermanfaat di fannya setelah Ihya Ulumiddin.”

Kitab-kitab Tasawuf lain

Al Habib Ahmad bin Hasan al Athas ketika ditanya mengenai kitab yang seyogyanya di baca, beliau menjawab:

“Bacalah Bidayah, al Adzkar (Karya Imam Nawawi), dan Minhaj (at Tholibin karya Imam Nawawi dalam Fiqih). Sesungguhnya Habib Abdullah al Haddad mengatakan: Membaca kitab Minhaj (Karya Imam Nawawi) dalam Fiqih, Ihya dalam Tasawuf, Al Baghowi dalam Tafsir, Mulhah dalam Nahwi, dan kitab-kita Ibnu Hisyam (dalam nahwu) termasuk sesuatu yang dapat menghasilkan futuh (keterbukaan) dengan membacanya, dan membuat ruh naik tingkatannya.”

Habib Ahmad bin Muhammad al Habsyi Shohibus Syiib Ra mengatakan:

Ada tiga nikmat yang dikhususkan bagi para mutaakhirin yaitu Syarah Hikam karya Ibnu Abbad, Qoshidah-Qoshidah al Faqih Umar Bamakhromah, dan Kopi.”
Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan bahwa beliau menambahkan kitab-kitab Al Habib Abdullah bin Alwi al Haddad RA dari ketiga hal ini.

Al Habib Idrus bin Umar al Habsyi meriwayatkan bahwa Habib Abdullah Al Haddad selalu meminta tiga kitab dibacakan kepada beliau. Jika tiga kitab ini khatam maka beliau memerintahkan untuk mengulangi membaca dari awal. Yaitu kitab Riyadhus Sholihin (Karya Imam Nawawi RA), Maqolun Nashihin (Karya Syaikh Muhammad bin Umar Bajamal) dan “Syarah Hadiqoh” karya Syaikh Muhammad bin Umar Bahroq.”
Imam al Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan:

“Kami wasiatkan kepada kalian empat kitab , lazimilah empat kitab ini. Kitab Al Hadiqoh al Aniqoh karya Syaikh Imam Muhammad Bahroq, Kitab Maqolun Nashihin karya Syaikh Muhammad bin Umar Bajamal, dua kitab ini senantiasa dibacakan di majlis Habib Abdullah al Haddad jika yang satu selesai dibaca maka dilanjutkan dengan yang kedua.

Kemudian kitab Durr Ats Tsamin karya Habib Abdulqodir bin Syaikh Alaydrus yang dikatakan oleh Habib Abdullah al Haddad dalam Ainiyah “Abdul Qodir yang penuh dengan ilmu” Yang keempat Ithafun Nabil karya Imam Thohir bin Husain nafa`anallahu

.”Kitab Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Jaelani dapat menjadi rujukan utama ilmu tasawuf. Dari ayat ke ayat, kita dapat mempelajari makna-makna Al-Quran dengan batin dan ruh tasawuf. Kita seolah menyelami samudera syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat.

Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan kitab tersebut:

1. Pada kitab ini, ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis. Jika terdapat ayat yang dapat ditafsirkan dengan ayat lain maka dijelaskan sambil dibandingkan antara dua ayat tersebut, sehingga makna dan tujuannya semakin jelas. Dapat dikatakan bahwa tafsir ini sangat memperhatikan cara penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi Al-Qur’an). Lalu, setelah selesai beliau mulai menuturkan beberapa Hadis Marfu’ yang berkenaan dengan ayat tersebut, sambil menjelaskan argumentasinya dengan mengiringi perkataan para Sahabat, Tabi’in dan ulama salaf.

2. Dalam ayat-ayat yang terkait dengan hukum fikih, tafsir ini tampak mentarjih sebagian pendapat ulama dan mendhaifkan serta mensahihkan sebagian riwayat secara tersirat, singkat dan dengan redaksi yang hemat, tidak seperti yang banyak dilakukan para mufasir lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengarangnya adalah seorang yang memiliki pengetahuan Ilmu Hadis yang sangat mapan.

3. Tafsir ini tergolong Tafsir Isyari, meskipun tidak semua ayat dalam surah-surah Al-Qur’an ditafsirkan secara isyari, akan tetapi struktur dalam bangunan pandangan sufi terhadap Tauhid melalui penafsiran beliau kepada seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam Al-Qur’an sangat sistematis, runtut, teratur dan sempurna. Sehingga, ini memperkuat Tafsir Al-Jailani sebagai sebuah referensi utama, serta standar matlamat bagi umat Islam, khususnya para penempuh jalan menuju Allah SWT.

4. Sebagai sebuah kitab dan rujukan Tasawuf tingkat tinggi (first class) kitab ini juga menyebutkan sanad dan status Hadis; mentarjih sesuatu yang dipandang benar tanpa fanatik atau taklid tanpa dalil. Tafsir ini benar-benar bersih dari isra’iliyat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.

5. Terbukti Tafsir Al-Jailani telah diterima dan tersebar di seluruh dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syekh Dr. Ali Jumu’ah (Mufti Mesir), Mufti Syria, Mufti Libanon, serta para Syekh sufi seperti murabbi besar Syekh Youssef Riq al-Bakhour dan lain-lain.

Semoga dengan penerjemahan dan penerbitan Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bahasa Indonesia/Melayu oleh Markaz Jailani Asia Tenggara, umat Islam di seluruh Nusantara dapat belajar, memahami dan mendalami ajaran-ajaran syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat dalam Al-Qur’an. Semoga Allah SWT memudahkan dan memberkahi umat Islam di Nusantara dalam mempelajari samudra makrifat melalui Tafsir Al-Jailani sebagai rujukan utama ilmu tasawuf, serta mengamalkannya dalam sendi-sendi kehidupan seperti yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Baca juga Artikel Menarik Lainnya

Demikian Biografi Nama-nama Tokoh Ulama Sufi Tasawuf dan kitab ajaran Ilmu Tasawuf, Semoga Informasi Nama-nama Tokoh Ulama Sufi Tasawuf ini bermanfaat jangan lupa berkomentar dan berkunjung kembali ke website www.tipstriksib.net