3 Hal Penyebab Matinya Hati ( Hati Mati ) Menjadi Keras Membantu
3 Hal Penyebab Matinya Hati ( Hati Mati ) Menjadi Keras Membantu - Apabila hati telah mati, Maka ia tidak akan mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan yang buruk, buta karena ia tidak mengenal mana itu dosa dan mana itu pahala. Ibarat sebuah Jazad yang mati terkapar, maka jasad tersebut sudah tidak bisa merasakan bilamana tubuhnya itu disakiti. Begitu juga dengan hati. Matinya hati sebabkan tidak akan bisa lagi mengontrol suatu sikap dan perbuatan kita. Oleh karena itu, Maka jagalah hati ini agar jangan sampai matinya hati menjadi hati yang keras seperti batu dan kemudian menjadi mati terkapar oleh rayuan-rayuan iblis.
Adapun sebab dari kerasnya hati tidak bisa menerima hidayah adalah karena maskiat dan lalai mengingat Allah / dzikrullah hati yang keras ibarat karang. Sulit menerima kebenaran dan gembira dalam kemaksiatan. tidak jarang kita temukan orang yang gemar maksiat, lalu dinasehati tetapi malah justru membantah
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Hadid ayat 16)
Cahaya petunjuk tidak datang tiba-tiba kepada seseorang, tapi membutuhkan suatu proses. Bagaikan sinar matahari, ia turun melalui rangkaian lapisan udara dan partikel yang menyaringnya sehingga dapat dirasakan oleh penduduk bumi. Ibnu Athaillah dalam Hikam-nya menyebutkan bahwa cahaya Allah datang kepada seorang hamba dalam dua bentuk. Pertama, cahaya yang hanya datang dan memantul kembali (وصول إلى القلب wushulun ilal qalbi). Kedua, cahaya yang datang lalu bersemayam di dalam hati (دخول فى القلب dukhulun fil qalbi) dan tidak pergi.
Cahaya yang memantul (tidak permanen) bukan disebabkan karena faktor cahaya, melainkan hati sebagai media telah rusak (mati) sehingga tidak dapat menangkap dan menyimpannya. Dengan duduk di majelis ilmu dan zikir, cahaya petunjuk menghasilkan pencerahan atau kesadaran batin. Namun setelah keluar dari majelis seseorang dapat kembali melakukan perbuatan tercela (maksiat). Sentuhan batin yang dirasakannya di majelis tersebut tidak bertahan lama. Cahaya petunjuk yang datang tidak akan menetap jika hatinya tidak beres. Begitu rugi mereka yang telah berusaha membangun benih-benih kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya di majelis Ulama, kemudian cahaya kecintaan yang sudah tumbuh tersebut lenyap kembali. Demikianlah hati yang tidak layak menggenggam cahaya-Nya karena tidak terurus.
Ada beberapa penyebab mengapa hati tidak layak menjadi media datangnya cahaya Allah, sehingga cahaya tidak masuk ke dalamnya. Hati yang keras (qosiy) atau mati disebabkan oleh 3 hal:
1. Al Akwan fil Qalb (الأكوان فى القلب), gambaran makhluk. Hatinya banyak terpenuhi gambaran dunia, yakni kecintaan dan perhatian yang besar terhadap makhluk atau harta. Hati yang dikuasai oleh kecintaan terhadap materi akan membuatnya menjadi lemah.
Betapa bahaya hati yang mati. Meski seseorang bolak-balik ke majelis ilmu, cahaya Allah dan Rasul-Nya tidak akan permanen menetap dalam hatinya. Hati yang mati tidak akan mampu menggerakkan ketaatan seseorang. Oleh karenanya hati mesti dibersihkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Sebaliknya apabila cahaya masuk ke dalam hati akan membimbing langkah-langkah seorang hamba hingga pulang kepada Allah. Dalam kitab An Nawadir dikisahkan ada suatu kafilah para pedagang yang berangkat menuju ke Madinah dengan menggunakan kapal laut. Di dalam kapal tersebut penuh dengan barang dagangan berharga yang akan dijual. Tak disangka-sangka, kapal yang mereka tumpangi dihantam badai hingga oleng dan hampir karam. Semua penumpang kapal yang terdiri dari mayoritas pedagang tersebut panik. Mereka mengkhawatirkan barang dagangannya yang bernilai mahal apabila dijual dan diprediksikan menghasilkan keuntungan yang besar. Harapan itu menjadi sirna, karena mereka masing-masing mulai memikirkan nyawanya yang terancam. Ketakutan yang mencekam diselimuti ancaman gelombang ombak yang tinggi tak kenal henti menerjang. Di saat-saat genting seperti itu terlihat seorang pemuda yang berjalan di atas air dengan tenangnya. Ia menghampiri kapal yang sedang bergoyang hebat sambil menatap para penumpang yang sedang panik. Pemuda tersebut berteriak lantang, ‘Heei, para penumpang! Apakah kalian semua ingin selamat?’ Para penumpang menjawab serentak, ‘Ingiiin!’ ‘Apakah barang kalian juga ingin selamat?’ bertanya lagi si pemuda misterius. Dijawab lagi oleh seluruh penumpang, ‘Ingiin!’ Si pemuda berkata kepada para penumpang, ‘Jika kalian beserta barang-barang kalian ingin selamat, keluarkan dari hati kalian kecintaan terhadap harta kalian tersebut!’ Lalu si pemuda melanjutkan, ‘Apabila kalian tiba selamat, janganlah kalian jual barang dagangan kalian. Tapi berikan seluruhnya kepada seluruh fakir miskin yang ada di Madinah!’ Akhirnya mereka menyetujuinya. Mereka mengeluarkan rasa kecintaan harta dalam hatinya. Setelah dilihat hati para pedagang di kapal tersebut bersih hatinya dari kecintaan terhadap harta, maka si pemuda memerintahkan kepada mereka semua untuk terjun dari kapal. Ternyata mereka semua tidak tenggelam. Mereka diberikan pertolongan oleh Allah dan semuanya mampu berjalan di atas air. Kapal yang ditinggalkan mereka pun karam beserta muatan barang dagangan yang ada di dalamnya. Si pemuda bertanya lagi, ‘Apakah kalian menginginkan agar barang-barang kalian dikembalikan seperti semula?’ Serentak para pedagang menyahut, ‘Setuju!’ Lalu si pemuda berdoa kepada Allah. Maka kapal yang telah tenggelam tadi muncul kembali atas izin Allah. Mereka dipersilahkan menaiki kapal kembali dan meneruskan perjalanannya. Sesampainya di kota Madinah, mereka merasa gembira karena selamat dari peristiwa genting yang mengancam nyawa. Niat mereka untuk berbisnis akhirnya berganti dengan menginfakkan seluruh barang dagangannya kepada kaum fakir miskin di kota tersebut. (Pengarang An Nawadir menyebutkan bahwa sosok pemuda tadi adalah Uwais al Qarni)
Nah, apabila ingin mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam menghadapi urusan, walau sebesar apapun maka keluarkan kecintaan terhadap dunia dari hati.[1] Dalam kalimat tauhid laa ilaaha illallaah, tiada sembahan yang layak kecuali Allah. Yang dimaksud ‘sembahan’ (ilaah) itu bukan hanya berhala, tapi segala sesuatu di dunia ini yang amat dicintai sehingga dinomorsatukan atau mengalahkan kecintaan kepada Allah. Harta, kedudukan, keturunan dan sebagainya dapat menyebabkan hati keras sehingga cahaya-Nya tidak menyinari langkah-langkah kehidupan. Kalimat illallaah, adalah memasukkan kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, Ulama, orang tua, dengan hati yang ikhlas karena Allah Hati yang mati akan hidup kembali setelah keluarkan sembahan (kecintaan) yang menjadi hijab (penghalang).
Dikisahkan ada seorang sahabat ingin menjumpai Sayidina Usman bin Affan Ra di masjid. Dalam perjalanan ia menjumpai ‘jebakan syetan’ berupa wanita yang sengaja terbuka auratnya. Saat ia melihat seketika muncullah syahwat (pikiran kotor)nya. Setelah itu ia menemui Sayidina Usman Ra. yang berada di masjid. Sayidina Usman Ra berkata kepadanya, ‘wahai sahabat, aku melihat ada bekas zina di matamu!’ Sahabat tersebut menjadi kaget, lalu bertanya, ‘Wahai Usman, apakah masih ada wahyu setelah Rasulullah Saw wafat?’ Sayidina Usman Ra berkata, ‘Takutlah dengan firasat orang-orang yang beriman, karena mereka melihat dengan cahaya Allah!’ Orang yang melihat dengan cahaya Allah pandangannya tembus pandang tanpa hijab (penghalang). Sayidina Usman Ra melihat bukan dengan mata lahir, tapi dengan aynul bashirah, mata hati yang terlatih.
Pada zaman sekarang makin berkembangnya media visual semakin banyak pula yang dipandang, dilihat, diperhatikan. Banyaknya stasiun televisi justru menambah tontonan, bukan tuntunan. Hijab gambaran dunia semakin dahsyat menumpuk dalam hati. Kondisi ini apabila dibiarkan, hati tidak dibersihkan atau diperlihara maka akan menimbulkan bahaya dan kebinasaan. Tantangan kehidupan saat ini amat besar, berbeda dengan pada masa dahulu yang tidak mengenal Hp, internet, parabola, atau TV kabel.
Tidak ada jalan yang menyelamatkan umat dari kondisi demikian melainkan bermulazamah (bergaul dekat) dengan Ulama, yang akan merubah atmosfer kehidupan yang negatif menjadi positif.
2. Al Ghaflah fil Qalb (الغفلة فى القلب), lalai kepada Allah. Hati yang lupa menyebabkan mati. Cara untuk mengobatinya adalah dengan melatihnya berzikir. Pada masa dahulu Rasulullah Saw mengajarkan para sahabat berzikir dengan berbagai macam kalimat zikir. Kalimat zikir yang utama adalah laa ilaaha illallaah. Pengajarannya adalah melalui talqin secara langsung, baik secara pribadi (perseorangan) maupun kolektif (berjamaah).
Dalam kitab Al Anwar Al Qudsiyyah,[2] para sahabat mendapatkan pengajaran-pengajaran zikir secara langsung dari Rasulullah Saw. Diriwayatkan Sadad bin Aus dan dibenarkan oleh Ubaidah bin Shamith, yang menceritakan: Suatu hari kami pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw, lalu Beliau bertanya, “Apakah di antara kalian terdapat orang asing (gharib)?” Lalu kami menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah!” Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menutup pintu dan berkata, “Angkatlah tangan kalian dan ucapkan: ‘laa ilaaha illallaah (لآ إلٰه إلا الله)!’ Sadad bin Aus berkata: Kemudian kami mengangkat tangan kami sesaat dan mengucapkan kalimat, ‘laa ilaaha illallaah (لآ إلٰه إلا الله).’ [3]
Adapun talqin zikir secara sendiri-sendiri, dialami oleh Ali bin Abu Thalib Ra. yang menyatakan: “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Saw, “Tunjukkan aku jalan (cara) yang lebih dekat kepada Allah Azza wa Jalla dan paling mudah untuk dilakukan oleh para hamba serta paling utama di sisi Allah Swt.” Maka Rasulullah Saw berkata, “Wahai Ali, engkau harus melanggengkan zikir kepada Allah ’Azza wa Jalla, baik secara sir (rahasia) atau keras (terang-terangan).” Lalu aku menyahut, “Semua orang bisa berzikir, wahai Rasulullah! Akan tetapi yang kuinginkan adalah engkau mau mengkhususkan sesuatu untukku.” Maka Rasulullah Saw bersabda:
مَهْ يَا عَلِيُّ, أَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ: لَآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ, وَلَوْ أَنَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَالْأَرَضِيْنَ السَّبْعَ فِيْ كَفَّةٍ, وَلَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ فِيْ كَفَّةٍ, لَرَجَحَتْ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ.
“Jangan, wahai Ali, sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi ucapkan adalah kalimat: laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله). Dan andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada pada timbangan yang satu sedangkan kalimat ‘laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله) pada timbangan lain, tentu ‘laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله) akan tetap mengungguli (lebih berat).”
Kemudian Ali Ra meminta kepada Rasulullah Saw untuk membimbing zikir secara lisan (talqin) sembari berkata, “Bagaimana aku berzikir?” Maka Rasulullah Saw berkata, “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, kemudian kamu ucapkan ‘laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله), sementara aku mendengarkanmu.” Kemudian Rasulullah Saw mengucapkan: ‘laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Ali mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah (لآ إله إلا الله) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, dan Nabi Saw mendengarkannya.
Di antara fungsi talqin zikir adalah untuk menghilangkan hati yang ghaflah, menggantinya dengan hati yang selalu ingat kepada Allah. Dan di antara metode zikir yang dapat menghilangkan sifat ghaflah adalah melatihnya dengan jahar (bersuara keras). Berzikir dengan suara keras menunjukkan zikir dengan berjamaah. Dengan berjamaah kekuatan suara yang membimbing hati akan lebih membekas.
Pada masa Rasulullah Saw, berzikir dengan meninggikan suara telah biasa dilakukan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra bahwasanya mengangkat suara dalam berzikir sesudah shalat fardhu biasa dilakukan pada masa Nabi Saw. Dan ia mengetahui shalat telah usai ketika bacaan itu tidak terdengar lagi.[4] Memperdengarkan suara zikir merupakan tradisi yang baik di tengah kebiasaan masyarakat saat ini yang cenderung menyenangi suara musik yang melalaikan ketika merayakan suatu acara atau kegiatan.
Masjid sebagai Rumah Allah merupakan sarana efektif untuk latihan zikir agar hati tidak lalai mengingat Allah, tidak dibiarkan sepi seperti museum. Dengan melatih terus menerus, zikir yang dilakukan akan menyampaikan kepada buahnya, yakni hakikat di balik makna zikir yang disebutnya itu. Keagungan kalimat zikir berupa keutamaannya yang agung (sebagaimana disebutkan) akan benar-benar dirasakan, bukan hanya sekadar teori atau retorika.
3. Hawan muttaba’ (هوى متبع), hawa nafsu yang diperturutkan. Orang yang berbahagia di dunia dan akhirat adalah mereka yang menjadikan akal dan hati sebagai raja dan hawa nafsu sebagai tawanannya. Sebaliknya mereka yang celaka adalah mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai raja dan hati sebagai tawanannya. Ketika hawa nafsu selalu diikuti, hatinya sudah tidak mampu mengeluarkan suara kebenaran, pikirannya tidak bisa memikirkan mana yang benar dan salah. Keinginan hawa nafsu sering tidak ingin diukur atau dibatasi. Terkadang keinginannya bersifat tidak rasional atau realistis.
Kondisi bangsa ini amat memprihatinkan, dari unsur pejabat aparatur pemerintah, hakim hingga penegak hukum ikut terjerat hukum. Meski fasilitas gaji dan tunjangan yang didapatkan begitu besar, namun semua itu tidak akan mencukupi apabila hawa nafsunya dijadikan raja. Suara hatinya melarang tapi begitu kecil sehingga kalah dengan suara hawa nafsunya yang gagah. Akal sehatnya memperingatkan akibatnya (bisa masuk penjara), namun tidak didengar atau menjadi pertimbangannya. Semuanya terkalahkan oleh dorongan hawa nafsu, karena ia sedang berkuasa menjadi raja.
Rasa malu menjadi hilang saat berbuat bahkan sesudah mendapatkan hukuman, karena kenikmatan nafsu yang sesaat telah mengelabuinya. Tidak jarang saat terjerat hukum, pelaku masih bisa tersenyum dan tertawa, tidak menyesali perbuatannya bahkan mempertahankan diri (menganggap perbuatannya wajar dan merasa tidak bersalah).
Tips agar terhindar dari pengaruh buruk faktor ketiga ini adalah dengan bermujahadah, yakni berjuang untuk memeranginya. Rasulullah Saw telah menyatakan bahwa dunia itu adalah penjaranya bagi orang mukmin dan surganya bagi orang kafir. Maksudnya orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya. Hawa nafsunya tidak dilepas atau dibebaskan begitu saja. Gambarannya seperti orang yang sedang berada di dalam penjara, makan dan tidur serba terbatas. Orang beriman senantiasa membatasi hawa nafsunya dalam kehidupan dunia yang fana ini. Sebaliknya orang kafir membebaskan hawa nafsunya sebebas-bebasnya laksana surga. Ia tidak mengatur dan mendidik hawa nafsunya.
Bagi orang yang berakal ia akan memilih untuk mengekang hawa nafsunya, karena kehidupan dunia ini hanya sebentar saja. Ia tidak ingin disamakan dengan pola hidup orang-orang kafir yang menjadikan kesenangan dunia yang penuh dengan tipuan ini sebagai tujuan hidupnya. Orang yang beriman terikat dalam aturan Allah dalam menjalani kehidupannya, baik dalam urusan berumah tangga, pergaulan, berpakaian, makan dan sebagainya.
Baca juga Artikel Menarik Lainnya
Sejarah Riwayat Sufi Wali Alloh : Kisah Manaqib Karomah Syekh Abdul Qodir Jaelani
Hukum dzikir keras ( jahr ) menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits
3 hal penyebab matinya hati ( hati mati ) menjadi keras membantu
Cara membersihkan hati agar dibersihkan dan terhindar dari penyakit hati
Pengertian perbedaan kedudukan akal, hati qalbu dan nafsu manusia dalam islam
Hukum Berdzikir dengan Menggunakan Tasbih
4 golongan ( tingkatan ) manusia menurut Syekh Abdul Qadir Jaelani
Hikmah Keutamaan LAA ILAAHA ILLALLAAH dan fadhillah manfaat dzikir bacaan LAAILAAHAILLALLAAH
Dalil Hukum Membaca Doa Tawassul menurut Hadits dan Al-Quran
Keutamaan Macam-Macam Tawasul dan Hukum Tawassul sesuai Dalil Hadits
Biografi Nama-nama Tokoh Ulama Sufi Tasawuf dan kitab ajaran Ilmu Tasawuf
Sejarah Ilmu Tasawuf Pada Masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat Nabi Muhammad SAW
4 Cabang Tingkatan Ilmu Islam Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat
Itulah 3 hal penyebab matinya hati ( hati mati ) menjadi keras membantu, semoga kita bisa menjaga hati ini agar bisa dekat dengan Allah SWT dengan mendawamkan dzikrullah.